Bahasa ‘Baku’ The Bookaholic Club

gramediapustakautama.com

Alhamdulillah, sejauh ini feedback yang gue dapatkan tentang debut gue di dunia tulis menulis cukup bagus. Terima kasih kepada semua yang sudah beli buku gue dan semoga semua bisa menikmatinya.

Dari sekian banyak feedback dan review baik di dunia maya maupun di media cetak, sebagian besar menulis seperti ini (tidak dengan tepat tapi rata-rata hampir sama): pemakaian bahasa baku menjadikan buku ini seperti terjemahan. Sebagian besar justru menyukai cara bertutur ini, sebagian kecil mengaku terganjal, tapi (syukurlah) tidak terlalu mengurangi kenikmatan membaca.

Ada beberapa yang bertanya, kenapa gue memilih menggunakan bahasa baku? Sebetulnya, gue sendiri lebih suka menyebutnya sebagai bahasa Indonesia yang baik dan benar.  Bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak selalu berarti baku. Kata baku kedengarannya seperti bahasa textbook *grins*

Tidak bakal gue pungkiri bahwa terbiasa menerjemahkan karya-karya luar negeri (terutama dari pengarang Inggris) memang memengaruhi gue dalam menulis naskah. Tapi itu bukan alasan utama. Alasan utamanya adalah gue memang memilih untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, bukan menggunakan bahasa sehari-hari yang santai. Ada beberapa alasan:

1. Proyek percobaan
Menulis teenlit fantasi adalah cita-cita gue sejak dulu. Kenapa teenlit? Karena menurut gue genre fantasi yang ditulis pengarang lokal masih dipandang sebelah mata oleh pembaca Indonesia sendiri. Menilik sebagian besar penggemar fantasi di Indonesia adalah remaja, maka target utama gue adalah remaja. Karena tampaknya teenlit-teenlit sekarang (sebagian besar) menggunakan bahasa santai, bagaimana jika gue mencoba menggunakan bahasa ‘baku’? Toh buku-buku ber-genre lain menggunakan bahasa ‘baku’. Apakah bahasa ‘baku’ hanya milik metropop atau sastra wangi atau buku-buku dewasa lainnya? Sedangkan teenlit ‘terjebak’ dalam bahasa gaul? Menurut gue, tidak.

2. Alternate world suka-suka pembaca
Menulis fantasi yang jelas-jelas menggunakan alternate world memang cita-cita gue, tapi gue juga harus realistis. Mungkin ‘perkenalan’ pada fantasi milik pengarang lokal harus dilakukan secara perlahan. Sebagian pembaca Indonesia (menurut gue) masih menganggap fantasi modern adalah genre eksklusif penulis luar. Dengan menggunakan bahasa ‘baku’ (dan tidak menyebut secara spesifik terjadi di mana), gue harap buku ini bisa setidaknya diterima penggemar fantasi di Indonesia, karena mereka bisa suka-suka menduga di mana lokasi kejadiannya. Di mana? Terserah Anda *grins*

3. Menyangkal anggapan jelek
Beberapa pengamat sastra menyayangkan cara bertutur teenlit-teenlit lokal yang menggunakan bahasa gaul. Teenlit adalah bacaan remaja, dan jika teenlit hanya menggunakan bahasa gaul, beberapa pengamat takut remaja sekarang jadi kurang menghargai bahasa Indonesia yang baik dan benar. Gue punya pendapat sendiri tentang ini. Menurut gue, cara bertutur seorang penulis adalah haknya. Bahasa gaul atau bahasa ‘baku’, tergantung dari jenis cerita. Tapi alangkah senangnya jika sebuah cerita pop, ringan, untuk remaja bisa menggunakan bahasa ‘baku’ yang tidak kaku. Siapa tahu ini bisa berhasil? Dan remaja pun bisa menikmati kisah ringan dan santai tapi juga membaca bahasa yang baik dan benar. Bukan hanya dari buku-buku terjemahan.

Nah, begitulah saudara-saudara. Di buku gue berikutnya (sayangnya belum sempat dikerjakan oleh editor gue yang sedang sibuk) gue tetap menggunakan bahasa ‘baku’ untuk narasi. Tapi untuk dialog, gue menggunakan bahasa sehari-hari. Kata ‘lo’, ‘gue’, dan lain sebagainya diucapkan oleh tokoh-tokohnya. Karena kali ini kisah terjadi di Bogor, sebuah kisah fantasi yang idenya didapat dari mitos masyarakat Sunda Banten.

Gue kepingin konsisten dalam bertutur menggunakan bahasa ‘baku’ ini. Karena gue mencintai bahasa Indonesia meski dengan berbagai kekurangannya. Dan gue masih mencintai cerita-cerita remaja yang ringan, ber-genre fantasi, sehingga belum mau berubah jalur menulis dalam genre lain. At least tidak dalam waktu dekat. Toh perjalanan gue sebagai penulis baru dimulai. Gue masih belum ada apa-apanya dibandingkan penulis-penulis teenlit lain. Apalagi dengan genre yang masih dilirik dengan sebelah mata.

Menggunakan bahasa ‘baku’ di sebuah kisah ringan menuntut gue untuk memilih kata-kata yang digunakan sehari-hari, tapi tidak ‘gaul’. Gue juga masih perlu belajar banyak dalam bertutur, atau mengeksplorasi bahasa Indonesia yang sebenarnya sangat kaya, tapi kurang dikenal. Bagaimana membuat alur cerita yang asyik, bahasa yang tidak kaku, penokohan yang berkarakter kuat, itu masih harus gue pelajari lagi. Lagi dan lagi. Maka, terima kasih untuk feedback-nya, mudah-mudahan gue jadi lebih mahir dalam bercerita dan doakan saja teenlit takkan lagi dianggap bacaan yang tak perlu diperhitungkan.

Hidup teenlit dan hidup fantasi!

Leave a comment